ciri-ciri komunikasi antar pribadi


Komunikasi antarpribadi bersifat dialogis, dalam arti arus balik antara komunikator dengan komunikan terjadi langsung, sehingga pada saat itu juga komunikator dapat mengetahui secara langsung tanggapan dari komunikan, dan secara pasti akan mengetahui apakah komunikasinya positif, negatif dan berhasil atau tidak. Apabila tidak berhasil, maka komunikator dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam penegasan istilah, penelitian ini lebih ditekankan pada dimensi psikologis perilaku komunikasi antarpribadi siswa. Sehingga secara psikologis perilaku komunikasi antarpribadi siswa meliputi keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan.
Berikut ini merupakan ciri-ciri efektifitas komunikasi antarpribadi menurut Kumar (Wiryanto, 2005: 36) dan De vito (Sugiyo, 2005: 4) bahwa ciri-ciri komunikasi antarpribadi tersebut yaitu:
  1. Keterbukaan (Openess), yaitu kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antar pribadi.
  2. Empati (Empathy), yaitu merasakan apa yang dirasakan orang lain.
  3. Dukungan (Supportiveness), yaitu situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif.
  4. Rasa positif (positivenes), seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
  5. Kesetaraan atau kesamaan (Equality), yaitu pengakuan secara diamdiam
    bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.

Senada dengan yang dikemukakan oleh De vito (Sugiyo, 2005: 4) bahwa ciri-ciri komunikasi antarpribadi tersebut demikian. Dari kelima ciri-ciri efektifitas kamunikasi antar pribadi tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Keterbukaan (Openess)
Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di masa kini tersebut.
Johnson Supratiknya, (1995: 14) mengartikan keterbukaan diri yaitu membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadiankejadian yang baru saja kita saksikan.
Secara psikologis, apabila individu mau membuka diri kepada orang lain, maka orang lain yang diajak bicara akan merasa aman dalam melakukan komunikasi antarpribadi yang akhirnya orang lain tersebut akan turut membuka diri.
Brooks dan Emmert (Rahmat, 2005: 136) mengemukakan bahwa karakteristik orang yang terbuka adalah sebagai berikut:
  1. Menilai pesan secara objektif, dengan menggunakan data dan keajegan logika.
  2. Membedakan dengan mudah, melihat nuansa, dsb.
  3. Mencari informasi dari berbagai sumber
  4. Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannya.


Empati (Empathy)
Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung kondusif apabila komunikator (pengirim pesan) menunjukkan rasa empati pada komunikan (penerima pesan). Menurut Sugiyo (2005: 5) empati dapat diartikan sebagai menghayati perasaan orang lain atau turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sementara Surya (Sugiyo, 2005: 5) mendefinisikan bahwa empati adalah sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak maupun yang terkandung, khususnya dalam aspek perasaan, pikiran dan keinginan. Individu dapat menempatkan diri dalam suasana perasaan, pikiran dan keinginan orang lain sedekat mungkin apabila individu tersebut dapat berempati. Apabila empati tersebut tumbuh dalam proses komunikasi antarpribadi, maka suasana hubungan komunikasi akan dapat berkembang dan tumbuh sikap saling pengertian dan penerimaan.
Menurut Winkel (1991: 175) bahwa empathy yaitu, konselor mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini menjadi siswa, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri.
Sedangkan Jumarin (2002: 97) menyatakan bahwa empati tidak saja berkaitan dengan aspek kognitif, tetapi juga mengandung aspek afektif, dan ditunjukkan dalam gerakan, cara berkomunikasi (mengandung dimensi kognitif, afektif, perseptual, somatic/kinesthetic, apperceptual dan communicative).

Dukungan (Supportiveness)
Dalam komunikasi antarpribadi diperlukan sikap memberi dukungan dari pihak komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam komunikasi. Hal ini senada dikemukakan Sugiyo (2005: 6) dalam komunikasi antarpribadi perlu adanya suasana yang mendukung atau memotivasi, lebih-lebih dari komunikator. Rahmat (2005 :133) mengemukakan bahwa “sikap supportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif . Orang yang defensif cenderung lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya ddalam situasi komunikan dari pada memahami pesan orang lain.
Dukungan merupakan pemberian dorongan atau pengobaran semangat kepada orang lain dalam suasana hubungan komunikasi. Sehingga dengan adanya dukungan dalam situasi tersebut, komunikasi antarpribadi akan bertahan lama karena tercipta suasana yang mendukung. Jack R.Gibb (Rahmat, 2005: 134) menyebutkan beberapa perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu:
[list=a][*]Deskripsi, yaitu menyampaikan perasaaan dan persepsi kepada orang lain tanpa menilai; tidak memuji atau mengecam, mengevaluasi pada gagasan, bukan pada pribadi orang lain, orang tersebut “merasa” bahwa kita menghargai diri mereka.
[*]Orientasi masalah, yaitu mengajak untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah, tidak mendikte orang lian, tetapi secara bersamasama menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya.
[*]Spontanitas, yaitu sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam.
[*]Provisionalisme, yaitu kesediaan untuk meninjau kembali pendapat diri sendiri, mengakui bahwa manusia tidak luput dari kesalahan sehingga wajar kalau pendapat dan keyakinan diri sendiri dapat berubah.

Rasa positif (positivenes)
Rasa positif merupakan kecenderungan seseorang untuk mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, menerima diri sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, memiliki keyakinan atas kemampuannya untuk mengatasi persoalan, peka terhadap kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima. Dapat memberi dan menerima pujian tanpa pura-pura memberi dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah.
Sugiyo (2005: 6) mengartikan bahwa rasa positif adalah adanya kecenderungan bertindak pada diri komunikator untuk memberikan penilaian yang positif pada diri komunikan. Dalam komunikasi antarpribadi hedaknya antara komunikator
dengan komunikan saling menunjukkan sikap positif, karena dalam hubungan komunikasi tersebut akan muncul suasana menyenangkan, sehingga pemutusan hubungan komunikasi tidak dapat terjadi. Rahmat (2005: 105) menyatakan bahwa sukses komunikasi antarpribadi banyak tergantung pada kualitas pandangan dan perasaan diri; positif atau negatif. Pandangan dan perasaan tentang diri yang positif,
akan lahir pola perilaku komunikasi antarpribadi yang positif pula.

Kesetaraan (Equality)
Kesetaraan merupakan perasaan sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga atau sikap orang lain terhadapnya. Rahmat (2005: 135) mengemukakan bahwa persamaan atau kesetaraan adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis, tidak menunjukkan diri sendiri lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekuasaan, kemampuan intelektual kekayaan atau kecantikan. Dalam persamaan tidak mempertegas perbedaan, artinya tidak mengggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama, yaitu mengkomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pendapat merasa nyaman, yang akhirnya proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan lancar.

self-concept


Teori tentang self-concept / konsep diri berhubungan dengan suatu gagasan tentang diri seseorang, self-consistency / konsistensi diri (konsisten terhadap apa yang ada pada dirinya), dan self-enhancement / peningkatan diri (kecenderungan untuk mempertahankan sesuatu hal yang positip yang ada pada dirinya) merupakan sesuatu hal yang penting (Hattie, 1992). Konsep diri merupakan salah satu konstruk yang penuh misteri dalam psikologi. Beberapa peneliti mendefinisikan self-concept dengan berbagai cara, istilah self-concept kadang-kadang digunakan sebagai sinonim dari istilah self-regard (kehormatan seseorang), self esteem (harga diri) atau yang lain.Untuk menghindari hal seperti itu, kita gunakan model self-concept dari Shavelson, Hubner, and Stanton (1976 : 411) untuk mengenali self-concept yang multi dimensi. Dalam model itu self-concept didefinisikan sebagai bagaimana seseorang mempersepsikan dirinya dan itu dibentuk melalui pengalaman penting yang diperoleh dari lingkungan dirinya atau orang lain. Shalvenson dan koleganya mengambil istilah self-concept secara umum (global self-esteem) baik digunakan pada bidang akademik maupun tidak. Dalam artikel ini kita fokuskan pada global self-esteem dan academic self-concept (self-concept pada bidang akademik).
Global self-esteem didefinisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan perasaan seseorang yang menjadi acuan dalam menempatkan dirinya sebagai obyek (Rosenberg, 1979 : 7), dan secara umum mengevaluasi sikap dan perasaan kita pada lingkungan di sekitar kita, dan sebagai bahan pertimbangan dalam memahami tentang diri kita sendiri secara mendalam (Brodbar, 1980). Global self-esteem tidak menyiratkan menjadi domain yang khusus dari self-evaluations (academic self-concept) dan tidak ada hubungannya dengan self-esteem. Sesungguhnya para peneliti telah memperlihatkan hubungan yang spesifik antara self-evaluation dengan global self-esteem (Marsh, 1992; Pelham & Swann, 1989). Self-esteem berhubungan dengan bagaimana seseorang merasakan sesuatu hal, bagaimana mereka berpikir, dan bagaimana mereka bertindak. Meskipun global self-esteem terlihat penting dalam konteks akademik, namun self-concept pada bidang akademik telah ditemukan menjadi penaksir yang baik untuk prestasi akademik siswa (Byrne, 1996; Marsh, 1992).
Self-concept pada bidang akademik didefinisikan sebagai persepsi seseorang secara menyeluruh pada bidang akademik, dan itu mengacu pada evaluasi diri (self-evaluation) pada domain yang berkaitan pada hal-hal yang bersifat akademik. Misalnya tipe beberapa item yang digunakan untuk menilai self-concept seseorang pada bidang akademik antara lain : ‘Saya bangga pada kelas yang saya ikuti’ atau ‘Ujian saya ikuti tidak memberi tantangan seperti yang harapkan’. Self-concept pada bidang akademik secara ekstensif telah diperlihatkan mempunyai hubungan dengan hasil belajar siswa di tingkat sekolah maupun lembaga pendidikan tinggi (Byrne, 1996; Cockley, 2003; Cockley, Bernard, Cunningham, Motoike, 2001; Harter, 1982; Hattie, 1992; Marsh, 1990; 1992; Reynolds, 1988; Reynolds, Ramirez, Magrina, & Allen, 1980).

self-disclousure


Dalam suatu interaksi antara individu dengan orang lain, apakah orang lain akan menerima atau menolak, bagaimana mereka ingin orang lain mengetahui tentang mereka akan ditentukan oleh bagaimana individu dalam mengungkapkan dirinya. Pengungkapan diri (self-disclosure) adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam kegiatan membagi perasaan dan informasi dengan orang lain (Wrightsman, 1987).

Menurut Morton (dalam Sears, dkk., 1989) pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskniptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar seperti, jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang disukai atau hal-hal yang tidak disukai atau dibenci.

Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dan pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang berinteraksi dengan menyenangkan dan membuat merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi idividu untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu yang dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya (Devito, 1992).

Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan mengikuti norma resiprok (timbal balik). Bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi, maka akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya mengharapkan orang lain memperlakukan sama seperti memperlakukan mereka (Raven & Rubin, 1983).

“Seseorang yang mengungkapkan informasi pribadi yang lebih akrab daripada yang kita lakukan akan membuat kita merasa terancam dan kita akan lebih senang mengakhiri hubungan semacam ini. Bila sebaliknya kita yang mengungkapkan diri terlalu akrab dibandingkan orang lain, kita akan merasa bodoh dan tidak aman” (Sears, dkk., 1988).

Kebudayaan juga memiliki pengaruh dalam pengungkapan diri seseorang. Tiap-tiap bangsa dengan corak budaya masing-masing memberikan batas tertentu sampai sejauh mana individu pantas atau tidak pantas mengungkapkan diri. Kurt Lewin (dalam Raven & Rubin, 1983) dari hasil peneitiannya menemukan bahwa orang-orang Amerika nampaknya lebih mudah terbuka daripada orang-orang Jerman, tetapi keterbukaan ini hanya terbatas pada hal-hal permukaan saja dan sangat enggan untuk membuka rahasia yang menyangkut pribadi mereka. Di lain pihak, orang Jerman pada awalnya lebih sulit untuk mengungkapkan diri meskipun untuk hal-hal yang bersifat permukaan, namun jika sudah menaruh kepercayaan, maka mereka tidak enggan untuk membuka rahasia pribadi mereka yang paling dalam.

Tingkatan-tingkatan pengungkapan diri
Dalam proses hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut Powell (dalam Supratikna, 1995) tingkatan-tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi yaitu:

a. Basa-basi merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan diantara individu, terapi tidak terjadi hubungan antar pribadi. Masing-masing individu berkomuniikasi basa-basi sekedar kesopanan.

b. Membicarakan orang lain yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang orang lain atau hal-hal yang diluar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu tidak mengungkapkan diri.

c. Menyatakan gagasan atau pendapat sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain.

d. Perasaan: setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu dapat berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan antar pribadi yang sungguh-sungguh, haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka dan menyarankan perasaan-perasaan yang mendalam.

e. Hubungan puncak: pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin hubungan antar pribadi dapat menghayati perasaan yang dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.

Sementara Alman dan Taylor mengemukakan suatu model perkembangan hubungan dengan pengungkapan diri sebagai media utamanya. Proses untuk mencapai keakraban hubungan antar pribadi disebut dengan istilah penetrasi sosial . Penetrasi sosial ini terjadi dalam dua dimensi utama yaitu keluasan dan kedalaman. Dimensi keluasan yaitu dimana seseorang dapat berkomunikasi dengan siapa saja baik orang asing atau dengan teman dekat. Sedangkan dimensi kedalaman dimana seseorang berkomunikasi dengan orang dekat, yang diawali dan perkembangan hubungan yang dangkal sampai hubungan yang sangat akrab, atau mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi tentang dirinya. Pada umumnya ketika berhubungan dengan orang asing pengungkapan diri sedikit mendalam dan rentang sempit (topik pembicaraan sedikit). Sedangkan perkenalan biasa, pengungkapan diri lebih mendalam dan rentang lebih luas. Sementara hubungan dengan teman dekat ditandai adanya pengungkapan diri yang mendalam dan rentangnya terluas (topik pembicaraan semakin banyak) (Sears, dkk. , 1999).

Fungsi pengungkapan diri.
Menurut Derlega dan Grzelak (dalam Sears, dkk., 1988) ada lima fungsi pengungkapan diri, yaitu :

a. Ekspresi (expression)
Dalam kehidupan ini kadang-kadang manusia mengalami suatu kekecewaan atau kekesalan, baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk membuang semua kekesalan ini biasanya akan merasa senang bila bercerita pada seorang teman yang sudah dipercaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini manusia mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita.

b. Penjernihan diri (self-clarification)
Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang sedang dihadapi kepada orang lain, manusia berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan masalah yang dihadapi sehingga pikiran akan menjadi lebih jernih dan dapat melihat duduk persoalannya dengan lebih baik.

c. Keabsahan sosial (sosial validation)
Setelah selesai membicarakan masalah yang sedang dihadapi, biasanya pendengar akan memberikan tanggapan mengenai permasalahan tersebut Sehingga dengan demikian, akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan kita. Kita dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya.

d. Kendali sosial (social control)
Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya orang akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang dirinya.

e. Perkembangan hubungan (relationship development).
Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban.

Pedoman dalam Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri kadang-kadang menimbulkan bahaya, seperti resiko adanya penolakan atau dicemooh orang lain, bahkan dapat menimbulkan kerugian material. Untuk itu, kita harus mempelajari secara cermat konsekuensi-konsekuensinya sebelum memutuskan untuk melakukan pengungkapan diri. Menurut Devito (1992) hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengungkapan diri adalah sebagai berikut:

a. Motivasi melakukan pengungkapan diri
Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap hubungan dengan orang lain dan diri sendiri. Sebab pengungkapan diri tidak hanya bersangkutan dengan diri kita saja tetapi juga bersangkutan dengan orang lain. Kadang-kadang keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai perasaan orang lain.

b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri.
Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Pengungkapan diri haruslah dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Misalnya bila kita ingin mengungkapkan sesuatu pada orang lain maka kita haruslah bisa melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat.

c. Timbal balik dan orang lain.
Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara kesempatan untuk melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Jika lawan bicara kita tidak melakukan pengungkapan diri juga, maka ada kemungkinan bahwa orang, tersebut tidak menyukai keterbukaan yang kita lakukan.

teori budaya organisasi


Pengertian Budaya Organisasi

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli :
a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
c. Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
d. Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.

e. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam
penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.

Sumber-sumber Budaya Organisasi

Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:264), budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.
2. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
Keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan.
3. Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.

Fungsi Budaya Organisasi


Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Ciri-ciri Budaya Organisasi

Menurut Robbins (1996:289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi adalah:
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya individu.
6. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku (Robbins, 1996 : 289).

Tipologi Budaya

Menurut Sonnenfeld dari Universitas Emory (Robbins, 1996 :290-291), ada empat tipe budaya organisasi :

1. Akademi
Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah.
2. Kelab
Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim.

3. Tim Bisbol
Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial yang sangat
besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi.

4. Benteng
Perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat dengan rapi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena merek memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada dalam masa peralihan.

teori manajemen makna terkoordinasi


Manajemen Makna Terkoordinasi menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimakna. Perace dan Cronen menggunakan metafora “teater tanpa sutradara”, mereka yakin bahwa di dalam kehidupan sebagaimana teater, terdapat aktor-aktor yang mengikuti semacam perilaku dramatis dan aktor lainnya menghasilkan “kekacauan yang memiliki titik-titik pertalian yang terpisah”.
Asumsi-Asumsi Manajemen Makna Terkoordinasi
MANUSIA HIDUP DALAM KOMUNIKASI
Seperti pendapat Pearce (1989), bahwa komunikasi adalah, dan akan selalu, menjadi penting bagi manusia dari yang seharusnya. Maksudnya manusia hidup dalam komunikasi. Hal ini merupakan sebuah pertentangan dari teori komunikasi konvensional yang beranggapan bahwa komunikasi selalu bersifat linier. Tetapi para teoritikus CMM menilai bahwa setiap situasi sosial diciptakan melalui interaksi. Ini berarti bahwa dalam asumsi ini, terdapat suatu proses komunikasi yang terjadi dalam interaksi individu dengan yang lain.
MANUSIA SALING MENCIPTAKAN REALITAS SOSIAL
Kepercayaan orang-orang dalam menciptakan realitas sosial dalam percakapan disebut sebagai konstruksionisme sosial. Realitas sosial merujuk pada pandangan seseorang mengenai bagaimana makna dan tindakan sesuai dengan interaksi interpersonalnya. Beberapa orang yang sudah saling mengenal pun akan berbeda interpretasi jika mereka jarang bertemu. Hal ini banyak menimbulkan realitas sosial baru yang mungkin menjadi realitas bersama yang akan mereka pahami di masa yang akan datang.
TRANSAKSI INFORMASI BERGANTUNG KEPADA MAKNA PRIBADI DAN INTERPERSONAL
Pada asumsi ini teori manajemen makna terkoordinasi berhubungan dengan cara seseorang mengendalikan percakapan atau interaksi dengan orang lain. Terdapat makna pribadi dalam setiap interaksi seseorang. Makna pribadi dan interpersonal sering kali didapat secara tidak sengaja dalam percakapan. Dalam percakapan makna interpersonal harus sering dikedepankan, sehingga pemahaman ruang lingkup pribadi lebih dapat diminimalisir dengan adanya penggunaan standar yang dimengerti bersama.
Hierarki Makna yang Terorganisir
Hierarki dalam teori ini digambarkan seperti piramida terbalik, dimana di dalam piramida tersebut terdapat asumsi-asumsi:
ISI
Merupakan langkah awal dimana data mentah dikonversikan menjadi makna
TINDAK TUTUR
Tindakan-tindakan yang dilakukan individu dengan cara berbicara dengan orang lain.
EPISODE
Merupakan rutinitas komunikasi yang memiliki awal, pertengahan dan akhir yang jelas. Dalam level ini, kita mulai mendeskripsikan konteks dimana orang bertindak dan mulai melihat pengaruh dari konteks terhadap makna.
HUBUNGAN
Dimana dua orang menyadari potensi dan betasan mereka sebagai mitra dalam sebuah hubungan.
NASKAH KEHIDUPAN
Diartikan sebagai kelompok-kelompok episode masa lalu dan masa kini. Maksudnya kita dapat menjadi seperti apa yang kita rasakan dikarenakan naskah kehidupan kita yang pernah kita jalani.
POLA BUDAYA
Manusia mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok tertentu dalam kebudayaan tertentu. Setiap individu pasti berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

teori manajemen privasi komunikasi


Teori ini membantu kita untuk memilah dan menjelaskan kompleksitas proses negosiasi antara privasi dan keterbukaan. Pembukaan di dalam hubungan membutuhkan pengelolaan batasan publik dan privat. Batasan-batasan ini ada diantara perasaan yang ingin diutarakan oleh seseorang dan perasaan yang ingin disimpan. Pembukaan di dalam perkembangan hubungan lebih dari sekedar mengutarakan informasi privat kepada orang lain. Dibutuhkan negosiasi dan koordinasi akan batasan. Keputusan mengenai pembukaan harus dimonitor secara intensif.

Evolusi Teori Manajemen Privasi Komunikasi
Para peneliti (Petronio dan Martin, 1986; Petronio, Martin dan Littlefield, 1984) tertarik akan criteria pembentukan aturan dalam system manajemen aturan dalam system manajemen aturan bagi pembukaan. Mereka mengamati bahwa pria dan wanita memiliki kriteria yang berbeda untuk menilai kapan harus terbuka dan kapan harus diam. Pemikiran akan perbedaan gender dan konsep keterbukaan yang diatur oleh aturan sekarang merupakan bagian dari teori manajemen privasi komnikasi.
Pada awalnya teori ini memiliki batasan yang lebih sempit yaitu sebagai mikroteori (teori dengan batasan yang terbatas), batasannya hanya samapai pada manajemen privasi pada pasangan yang sudah menikah. Sekarang, sudah lebih luas menjadi makroteori (teori dengan batasan yang luas), batasannya melingkupi berbagai macam hubungan interpersonal yang luas, termasuk kelompokm dan organisasi.

Asumsi Dasar Teori Manajemen Privasi Komunikasi
1. Informasi privat, merujuk pada cara tradisional untuk berfikir mengenai pembukaan; ini merupakan pengungkapan informasi privat. Namun, Petronio (2002) melihat bahwa berfokus pada isi dari pembukaan memungkinkan kita untuk menguraikan konsep-konsep mengenai privasi dan keintiman dan mempelajari bagaimana mereka salaing berhubungan. Keintiman adalah perasaan atau keadaan mengetahui seseorang secara mendalam dalam cara-cara fisik, psikologi, emosional, dan perilaku karena orang ini penting dalam kehidupan seseorang. Pembicaraan pribadi, sebaliknya, tertarik dengan proses bercerita dan merefleksikan isi dari informasi privat mengenai orang lain dari kita.
2. Batasan privat, menjelaskan bahwa terdapat garis antara bersikap publik dan bersikap privat. Pada satu sisi batasan ini, orang menyimpan informasi privat untuk diri mereka sendiri (Petronio, Giles, Gallois dan Ellmers, 1998); dan pada sisi lain, orang membuka beberapa informasi privat kepada orang lain di dalam relasi sosial dengan mereka. Ketika informasi privat dibagikan, batasan sekelilingnya disebut batasan kolektif, dan ketika informasi privat tersebut tetap disimpan dan tidak buka, maka batasnnya disebut batasan personal.
3. Kontrol dan kepemilikan, orang merasa memiliki informasi privat mengenai diri mereka sendiri. Sebagai pemilik informasi, mereka percaya bahwa mereka harus ada dalam proporsi untuk mengontrol siapa saja yang boleh mengakses informasi privat tersebut.
4. System manajemen berdasarkan aturan, system ini adalah kerangka untuk memahami keputusan yang dibuat orang mengenai informasi privat. System ini memungkinkan pengelolaan pada level individual dan kolektif serta merupakan pengaturan rumit yang terdiri dari tiga proses: karakteristik aturan privasi, koordinasi batasan, dan turbulensi batasan.
5. Dialektika manajemen, dialektika manajemen privasi berfokus pada ketegangan-ketegangan antara kainginan untuk mengungkapkan informasi privat dan keinginan untuk meutupinya.

Proses Manajemen Aturan Privasi
1. Karaktersitik aturan pribadi. Merupakan salah satu proses di dalam system manajemen aturan privasi yang mendeskripsikan sifat dasar dari aturan privasi. Ada dua faktor utama yaitu:
• Pengembangan aturan, dituntun oleh criteria-kriteria keputusan orang untuk mengungkapkan atau menutupi informasi privat. Teori ini menyatakan bahwa lima criteria keputusan digunakan untuk mengembangkan aturan-aturan privasi; kriteria berdasarkan budaya, kriteria berdasrkan gender, kriteria motivasional, kriteria kontekstual, dan kriteria rasio resiko-keuntungan. Kelima kriteria keputusan ini merupakan salah satu elemen dari karakteristik aturan privasi.
• Atribut aturan privasi, atribut adalah karakteristik aturan privasi yang mendeskripsikian bagaimana orang mendapatkan aturan serta properti-properti aturan. Secara umum, teori ini menyatakan bahwa orang mempelajari aturan melalui proses sosialisasi atau melalui negosiasi dengan orang lain untuk menciptakan aturan baru.
2. Koordinasi batasan, merujuk pada bagaimana kita mengelola informasi yang dimiliki bersama. Petronio (2002) mengamati bahwa orang mengatur informasi privat melalui aturan-aturan yang mengurangi pertalian batsan, hak kepemilikan batasan dan peremeabilitas batsan.
• Pertalian batasan, merujuk pada hubungan yang membentuk aliansi batasan antar individu.
• Kepemilikan batasan, merujuk pada hak-hak dan keistimewaan yang diberikan kepada pemilik pendamping (co-owner) dari sebuah informasi privat.
• Permeabilitas batasan, merujuk pada severapa banyak informasididapat melalui batasan yang ada. Ketika akses terhadap informasi privat ditutup, batasannya disebut batasan tebal, sedangkan ketika aksesnya terbuka, batasnnya disebut sebagai batsan tipis (petronio, 2002).
3. Turbulensi batasan, hal ini muncul ketika aturan-aturan koordinasi batasan tidak jelas atau ketika harapan orang untuk manajemen privasi berkonflik antara satu dengan lainnya. Aturan batasan tidak selalu merupakan system yang berjalan dengan lancar, dan orang-orang yang terlibat dapat mengalami benturan yang disebut Petronio sebagai turbulensi. Turbulensi batasan dapat terjadi karena beberapa orang mengundang orang lain kedalam batasan privasi mereka, mereka mengharapkan respons yang sesuai. Ketika harapan ini dilanggar, orang terluka dan menjalani turbulensi batasan. Hal ini sangat membingungkan karena batasan dalam keadaan terbuka tetapi orang yang satunya menolak untuk dilibatkan.

teori pengurangan ketidakpastian


Teori ini mengarah pada proses dasar dari bagaimana kita meningkatkan pengetahuan tentang orang lain . Ketika kita menghadapi orang asing, kita mungkin mempunyai keinginan yang kuat untuk mengurangi ketidakpastian tentang orang tersebut. Dalam situasi seperti itu, kita cenderung untuk tidak yakin tentang kemampuan orang lain untuk berkomunikasi tentang tujuan atau rencananya. Berger memproses bahwa orang mempunyai waktu yang sulit dengan ketidakpastian, bahwa mereka ingin mampu memperkirakan tingkah laku, dan bahwa mereka termotivasi untuk mencari informasi tentang orang lain. Tentu saja jenis pengurangan ketidakpastian ini adalah satu dari dimensi utama dari pengembangan sebuah hubungan.
Asumsi Teori Pengurangan Ketidakpastian
1.    Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpersonal
2.   Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif
3.   Ketika orang asing bertemu, perhatian umum mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkatkan prediktabilitas.
4.   Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan.
5.   Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang akan berubah seiring berjalannya waktu.
6.   Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum.
Aksioma Teori Pengurangan Ketidakpastian
Pengurangan situasi ketidakpastian didalamnya terdapat upaya – upaya untuk memprediksi dan menjelaskan. Terdapat dua jenis ketidakpastian, situasi ketidakpastian yang berkaitan dengan tingkah laku, perilaku, dan yangkedua merupakan situasi ketidakpastian yang berhubungan dengan kognitif. Aksioma teoritis : kepastian tentang ketidakpastian.
  • Aksioma 1
Komunikasi verbal, meningkatnya level jumlah komunikasi verbal yang dilakukan ketika tengah berkomunikasi dengan orang asing atau orang yang tidak dikenal, maka akan mengurangi tingkat ketidakpastian. Hal ini menyatakan adanya kebalikan atau hubungan negative antara ketidakpastian dan komunikasi verbal.
  • Aksioma 2
Kehangatan atau keakraban komunikasi non – verbal, ketika ekspresi – ekspresi non – verbal meningkat, situasi ketidakpastian akan semakin berkurang. pengurangan tingkat ketidakpastian, meningkatkan peningkatan ekspresi non-verbal.
  • Aksioma 3
Pencarian informasi, tingginya tingkat ketidakpastian bisa meningkatkan upaya – upaya seseroang untuk lebih aktif lagi dalam mencari informasi. ketika situasi ketidakpastian itu mulai dihindari, maka proses pencarian informasi pun semakin berkurang.
  • Aksioma 4
Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam sebuah jalinan sebuah hubungan dapat mengurangi keintiman kualitas komunikasi. rendahnya situasi ketidakpastian dapat meningkatkan tingkat keintiman kualitas komunikasi.
  • Aksioma 5
Pertukaran, ketidakpastian yang tinggi, dapat meningkatkan pertukaran informasi diantara mereka.
  • Aksioma 6
Kesamaan, semakin banyak persamaan diantara mereka, semakin menurunkan tingkat ketidakpastian.
  • Aksioma 7
Selera, selera akan semakin menurun jika situasi ketidakpastian cukup tinggi. sebaliknya selera akan semakin meningkat jika tidak ada kondisi ketidakpastian.
  • Aksioma 8
Ketidakpastian berhubungan secara negative dengan interaksi dalam jaringan sosial. Makin orang berinteraksi dengan teman dan anggota keluarga dari mitra hubungan mereka, makin sedikit ketidakpastian yang mereka alami.
  • Aksioma 9
Terdapat hubungan kebalikan atau negative antara ketidakpastian dan kepuasan komunikasi.

teori pertukaran sosial


Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).  Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya  pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku  di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.  Empat Konsep pokokGanjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini. 
§  Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Buat orang kaya mungkin penerimaan sosial lebih berharga daripada uang. Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran daripada hubungan yang menambah pengetahuan.
§  Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat di dalamnya.
§  Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Misalnya, Anda mempunyai kawan yang pelit dan bodoh. Anda banyak membantunya, tetapi hanya sekedar supaya persahabatan dengan dia tidak putus. Bantuan Anda (biaya) ternyata lebih besar daripada nilai persahabatan (ganjaran) yang Anda terima. Anda rugi. Menurut teori pertukaran sosial, hubungan anda dengan sahabat pelit itu mudah sekali retak dan digantikan dengan hubungan baru dengan orang lain.
§  Tingkat perbandingan menunjukkan  ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat perbandingannya turun. Bila seorang gadis pernah berhubungan dengan kawan pria dalam hubungan yang bahagia, ia akan mengukur hubungan interpersonalnya dengan kawan pria lain berdasarkan pengalamannya dengan kawan pria terdahulu. Makin bahagia ia pada hubungan interpersonal sebelumnya, makin tinggi tingkat perbandingannya, berarti makin sukar ia memperoleh hubungan interpersonal yang memuaskan.
 Homans dalam bukunya “Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi “. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip
Teori Pertukaran sosial beranggapan orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan obyektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan perilaku alam. Dengan kata lain, hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probabilistik). Misalnya, kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai lebih baik; kalau kita ramah kepada orang lain, orang lain (mungkin) akan ramah kepada kita; bila suami isteri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai.

teori disonansi kognitif


Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut. 
Teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah:
§  Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementigkan adanya [stabilitas] dan [konsistensi]. 
§  Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur.  Teori ini menekankan seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut. 
§  Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensiTingkat Disonansi
Merujuk kepada jumlah inkonsistensi yang dialami seseorang.  Tiga hal yang merujuk kepada tingkat disonansi seseorang:
§  Tingkat kepentingan, yaitu seberapa signifikan tingkat masalah tersebut berpengaruh pada tingkat disonansi yang dirasakan
§  Rasio disonansi, yaitu jumlah disonansi berbanding dengan jumlah konsistensi.
§  Rasionalitas merupakan alasan yang dikemukakan oleh seseorang yang merujuk mengapa suatu inkonsistensi muncul
Mengatasi Disonansi
Ada banyak cara untuk mengatasi disonansi kognitif, namun cara yang paling efektif untuk ditempuh adalah:
§  Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita
§  Menambahkan keyakinan yang konsonan
§  Menghapus disonansi dengan cara tertentu. 
Kritik Terhadap Teori
§  Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara menyeluruh kapan dan bagaimana seseorang akan mencoba untuk mengurangi disonansi
§  Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan pengujian berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau salah.  

} HTML,BODY{cursor: url("http://downloads.totallyfreecursors.com/cursor_files/fireorange.ani"), url("http://downloads.totallyfreecursors.com/thumbnails/fireorange.gif"), auto;}