Di atas peta Pulau Jawa, jarak Kampung Ciheulang dengan pusat pemerintahan republik ini hanya sebuku jari telunjuk orang dewasa. Namun, dalam hal akses informasi, jarak yang terentang sungguh teramat jauh, bagai langit dan bumi.
Jangankan bicara soal internet dengan fenomena Twitter dan Facebook-nya, untuk bisa menikmati siaran radio dan televisi pun bukan perkara gampang. Sebab, hingga hari ini masih ada larangan bagi warga kampung yang berada di wilayah Desa Dago, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu untuk memiliki perangkat radio dan televisi.
”Kalau ingin nonton televisi, sekadar cari hiburan, saya dan kawan-kawan pergi ke kampung lain. Itu pun harus secara sembunyi-sembunyi,” kata seorang pemuda berusia belasan tahun yang tidak bersedia ditulis namanya, akhir pekan lalu.
Bukan saja berbagai isu yang menghebohkan negeri ini—sebutlah seperti kasus Bank Century atau penahanan dua pemimpin KPK, Bibit-Chandra—tidak sampai ke telinga warga, nama dan sosok para menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu pun sebagian besar tidak mereka ketahui.
Bahkan, informasi terkait gerakan wajib belajar sembilan tahun juga tidak dipahami oleh warga. Hanya segelintir warga Dago yang berpendidikan hingga SMP, kebanyakan cuma lulusan SD atau madrasah ibtidaiyah.
”Jangan coba-coba membeli televisi, radio, atau barang-barang yang ber-speaker. Kalau ketahuan, barang elektroniknya bisa dibakar. Ini benar-benar sudah pernah terjadi di sini,” kata Mahpud Saripudin, Kepala Desa Dago.
Desa Dago berpenduduk 5.894 jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 3.000 jiwa tinggal di Ciheulang yang berbukit-bukit. Lantaran adanya larangan—tentu saja tidak tertulis—memiliki radio dan televisi, juga segala bentuk barang elektronik yang berpengeras suara, Ciheulang akhirnya terkenal dengan julukan ”kampung aspek” alias anti-speaker.
Sebagai kepala desa, Mahpud mengaku tidak bisa mengubah aturan yang ada di kampung ini. Tokoh-tokoh masyarakat Ciheulang yang melarang adanya televisi dan radio di sana ternyata lebih berkuasa untuk mengatur masyarakat setempat. ”Alasannya, kata mereka, televisi dan radio bisa membuat warga lupa mengingat Tuhan,” tuturnya.
Larangan memiliki televisi dan radio sudah berlangsung lama, sejak barang elektronik itu ada di pasar sekitar desa mereka. Alhasil, selama ini pengetahuan dan informasi hanya diperoleh dari mulut ke mulut atau dari bahan bacaan. Itu pun kalau ada.
Bantuan pembaca
Dengan memilih membaca dan tidak menonton televisi, logikanya mereka menjadi sangat kaya pengetahuan. Bukankah ada ungkapan bahwa membaca adalah jendela ilmu pengetahuan?
Kenyataannya tidaklah demikian. Warga sulit mendapatkan bahan bacaan, baik buku maupun surat kabar atau majalah yang memuat informasi terkini.
Buku bacaan dan surat kabar hanya dijual di Parung Panjang, ibu kota kecamatan yang berjarak sekitar 9 kilometer dari Desa Dago. Jalan yang rusak membuat perjalanan semakin memakan waktu lebih lama.
”Kalau ada yang ingin baca koran, ya, nitip tetangga yang akan pergi ke Parung Panjang. Kalau enggak, ya, tidak baca koran berbulan-bulan,” tutur seorang warga yang mengaku jarang sekali membaca surat kabar. Isu politik yang ia dapat hanya berasal dari mulut ke mulut sehingga masalah yang belum jelas duduk perkaranya menjadi semakin simpang siur di telinga warga.
Dongeng anak-anak menjelang tidur sejak dulu juga tidak bertambah. Tidak ada bacaan lain yang memperkaya cerita anak-anak.
Cerita tentang Gunung Dago dan Ki Jiam, tokoh kampung yang mereka yakini paling disegani semua makhluk pada masa silam, hingga kini masih menjadi cerita untuk anak-anak mereka. Malah tidak sedikit warga yang melintasi hutan sekitar kampung masih mengucap kalimat semacam mantra seperti ini, ”Punteun.... Jangan ganggu saya lewat, saya masih keturunan Ki Jiam.”
Jangankan bicara soal internet dengan fenomena Twitter dan Facebook-nya, untuk bisa menikmati siaran radio dan televisi pun bukan perkara gampang. Sebab, hingga hari ini masih ada larangan bagi warga kampung yang berada di wilayah Desa Dago, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu untuk memiliki perangkat radio dan televisi.
”Kalau ingin nonton televisi, sekadar cari hiburan, saya dan kawan-kawan pergi ke kampung lain. Itu pun harus secara sembunyi-sembunyi,” kata seorang pemuda berusia belasan tahun yang tidak bersedia ditulis namanya, akhir pekan lalu.
Bukan saja berbagai isu yang menghebohkan negeri ini—sebutlah seperti kasus Bank Century atau penahanan dua pemimpin KPK, Bibit-Chandra—tidak sampai ke telinga warga, nama dan sosok para menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu pun sebagian besar tidak mereka ketahui.
Bahkan, informasi terkait gerakan wajib belajar sembilan tahun juga tidak dipahami oleh warga. Hanya segelintir warga Dago yang berpendidikan hingga SMP, kebanyakan cuma lulusan SD atau madrasah ibtidaiyah.
”Jangan coba-coba membeli televisi, radio, atau barang-barang yang ber-speaker. Kalau ketahuan, barang elektroniknya bisa dibakar. Ini benar-benar sudah pernah terjadi di sini,” kata Mahpud Saripudin, Kepala Desa Dago.
Desa Dago berpenduduk 5.894 jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 3.000 jiwa tinggal di Ciheulang yang berbukit-bukit. Lantaran adanya larangan—tentu saja tidak tertulis—memiliki radio dan televisi, juga segala bentuk barang elektronik yang berpengeras suara, Ciheulang akhirnya terkenal dengan julukan ”kampung aspek” alias anti-speaker.
Sebagai kepala desa, Mahpud mengaku tidak bisa mengubah aturan yang ada di kampung ini. Tokoh-tokoh masyarakat Ciheulang yang melarang adanya televisi dan radio di sana ternyata lebih berkuasa untuk mengatur masyarakat setempat. ”Alasannya, kata mereka, televisi dan radio bisa membuat warga lupa mengingat Tuhan,” tuturnya.
Larangan memiliki televisi dan radio sudah berlangsung lama, sejak barang elektronik itu ada di pasar sekitar desa mereka. Alhasil, selama ini pengetahuan dan informasi hanya diperoleh dari mulut ke mulut atau dari bahan bacaan. Itu pun kalau ada.
Bantuan pembaca
Dengan memilih membaca dan tidak menonton televisi, logikanya mereka menjadi sangat kaya pengetahuan. Bukankah ada ungkapan bahwa membaca adalah jendela ilmu pengetahuan?
Kenyataannya tidaklah demikian. Warga sulit mendapatkan bahan bacaan, baik buku maupun surat kabar atau majalah yang memuat informasi terkini.
Buku bacaan dan surat kabar hanya dijual di Parung Panjang, ibu kota kecamatan yang berjarak sekitar 9 kilometer dari Desa Dago. Jalan yang rusak membuat perjalanan semakin memakan waktu lebih lama.
”Kalau ada yang ingin baca koran, ya, nitip tetangga yang akan pergi ke Parung Panjang. Kalau enggak, ya, tidak baca koran berbulan-bulan,” tutur seorang warga yang mengaku jarang sekali membaca surat kabar. Isu politik yang ia dapat hanya berasal dari mulut ke mulut sehingga masalah yang belum jelas duduk perkaranya menjadi semakin simpang siur di telinga warga.
Dongeng anak-anak menjelang tidur sejak dulu juga tidak bertambah. Tidak ada bacaan lain yang memperkaya cerita anak-anak.
Cerita tentang Gunung Dago dan Ki Jiam, tokoh kampung yang mereka yakini paling disegani semua makhluk pada masa silam, hingga kini masih menjadi cerita untuk anak-anak mereka. Malah tidak sedikit warga yang melintasi hutan sekitar kampung masih mengucap kalimat semacam mantra seperti ini, ”Punteun.... Jangan ganggu saya lewat, saya masih keturunan Ki Jiam.”
Posting Komentar